Senin, 13 Juli 2009

Kulkas


Kita tak lagi puas dengan lemari makan kita. Sebab, ada banyak makanan atau bahan pangan yang hanya dapat bertahan lama di dalam sebuah lemari berpendingin yang dinamai kulkas. Lagipula, bukankah kita tak perlu sering-sering membeli bahan makanan segar? Kita hanya perlu melakukannya sesekali saja, sebab kulkas akan membuatnya tahan sedikit lebih lama.

Jadi, kita pun mulai membeli bahan-bahan pangan itu, lalu menatanya di dalam kulkas. Sungguh menyenangkan bukan?


Kecuali satu. Entah kenapa, kita tak lagi hirau soal waktu. Kita lupa, atau alpa memperkirakan, berapa lama bahan-bahan makanan itu akan bertahan? Ketika usai berbelanja dan membuka kulkas untuk menatanya, tiba-tiba tampak oleh kita seikat sawi yang telah layu kehitaman. Tomat yang berair dan menjelang busuk. Sayuran beku dan makanan kaleng yang sudah kedaluarsa. Susu dalam botol, atau jus buah di dalam kotak yang tak lagi enak rasanya.


Makanan dan bahan-bahan pangan yang tak lagi layak santap itu terpaksa dibuang, bukan? Mulailah ritual baru dalam hidup kita: belanja - membuang yang di kulkas - menyimpan yang baru - belanja - membuang yang di kulkas - menyimpan yang baru - belanja...


Jika semua makanan yang terbuang itu dikumpulkan, tidakkah tampak bahwa sesungguhnya kita mampu memberi makan mereka yang lapar?*

Lemari Makan



Beberapa hari yang lalu, aku membeli lemari makan. Mungkin orang akan bertanya: apa istimewanya sebuah lemari makan? Bagiku, lemari itu sangat istimewa.

Selama ini, bahan-bahan makanan hanya ditumpuk saja di atas meja panjang di ruang makan. Lama-lama tumpukan itu jadi makin tinggi dan banyak, sehingga tak lagi rapi atau sedap dipandang.


Setelah lemari makan itu datang, aku segera menata isinya. Kurasa lemari makan ini tak lebih baik dari lemari-lemari makan yang manapun... dan isinya pun barangkali tak lebih lengkap daripada lemari-lemari makan orang lain. Hanya ada dua orang (dan dua ekor anjing) di rumahku; seberapa banyak sih, makanan yang dapat kami simpan?


Aku tercenung di depan lemari makan itu. Tak lebih baik atau lengkap, tapi aku telah memiliki lemari makanku sendiri. Persediaan makananku sendiri. Bahkan sebuah lemari makan pun adalah sebuah kedaulatan.


Hingga Juni 2009, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mencatat, dunia memiliki 1,02 miliar orang berada dalam kondisi kelaparan. Hampir semuanya hidup di negara sedang berkembang. Diperkirakan, sejumlah 642 juta berada di kawasan Asia-Pasifik, 265 juta di Afrika Sub-Sahara, 52 juta di Amerika Latin & Karibia, 42 juta di Timur Dekat & Afrika Utara, dan total 15 juta di beberapa negara berkembang lainnya.


Sebanyak 1,02 miliar orang yang kelaparan itu bukan hanya menjadi korban turunnya produksi pangan global (yang menjadi penyebab mahalnya harga pangan), namun juga krisis ekonomi dunia yang mengakibatkan turunnya penghasilan dan meningkatnya pengangguran. Keseluruhan kondisi ini, secara lambat namun pasti, mengurangi akses pangan kaum miskin; menjerumuskan 100 juta orang lebih banyak dibandingkan akhir tahun lalu, ke dalam kemiskinan dan kelaparan kronis. "Inilah ancaman serius terhadap keamanan dan perdamaian dunia," tegas Jacques Diouf, Direktur Jenderal FAO.


Jadi terasa bukan, betapa berharganya sebuah lemari makan? Lemari makan berarti tersedianya pangan, atau dengan kata lain, terjaminnya kehidupan sampai beberapa waktu mendatang. Sejumlah 1,02 miliar orang barangkali tak punya lemari makan, sebab mereka tak punya persedian pangan, bahkan tak lagi punya jaminan kehidupan. Jumlah itu mungkin akan terus bertambah, dan terus bertambah...

Kawan, lihatlah lemari makanmu. Persediaan panganmu. Jika kelimpahan yang kau miliki tak lagi bisa kau maknai, apakah penderitaan sesamamu yang miskin dan lapar akan punya arti bagimu?*

Selasa, 31 Maret 2009

Valentine's Day



Biaya-biaya Atas Nama Cinta

Setiap tanggal 14 Februari, di seluruh dunia dirayakan Hari Valentine, termasuk di Indonesia. Perayaan ini selalu menimbulkan pro dan kontra, mengundang berbagai tanggapan--baik yang manis maupun yang sinis--, dan barangkali ini adalah waktu untuk sejenak berhenti, memikirkan kembali tentang cinta, kasih sayang, dan semua biaya yang perlu kita keluarkan untuknya.


Bukanlah sesuatu yang mengherankan, jika Hari Valentine masih menjadi sebuah perdebatan klasik antara boleh atau tidak merayakannya, terlebih-lebih perlu atau tidaknya mengirimkan kartu ucapan selamat, coklat maupun kado-kado yang manis bagi orang-orang tersayang. Kita bahkan masih bisa mempertanyakan, benar atau tidakkah merayakan Hari Valentine dengan menghadiri beragam pesta, dari yang begitu privat hingga yang sangat haus publisitas. Hari Valentine memang selalu menjadi pembicaraan kontroversial, sebab sejarahnya sendiri rapat dikungkungi oleh selubung misteri.

Ada begitu banyak versi tentang Hari Valentine, hingga tak jelas lagi mana yang merupakan sejarah orisinal dan mana yang sebenarnya cuma sekadar karang-karangan orang saja, terutama karena cerita-cerita cinta selalu manis untuk dijadikan legenda. Sebuah situs internet bahkan dengan pede menyatakan, “Meskipun sejarah Hari Valentine hampir sepenuhnya terselubung misteri, tapi kita tahu kan, bahwa Februari adalah bulan cinta?”

Legenda tentang Penindasan dan Kebaikan Hati Seorang Bapa
Cerita tentang Hari Valentine hampir selalu dikaitkan dengan seorang pastor bernama Valentine, atau Valentinus, yang melakukan karya kasih di Roma pada sekitar abad ke-3. Ketika Kaisar Claudius II memutuskan bahwa setiap laki-laki yang belum menikah lebih baik menjadi prajurit ketimbang mencari istri dan membentuk keluarga, Pastor Valentinus melanggar hukum dengan menikahkan sepasang anak muda. Bagaimanapun, di mata sang pastor, adalah suatu ketidakadilan untuk menghalangi cinta yang telah bersemi di hati para kekasih. Alih-alih merasa perlu untuk berhati-hati melakukan pelanggaran hukum di bawah hidung Sang Kaisar, Pastor Valentinus justru menikahkah berpasang-pasang anak muda lainnya. Ketika pada akhirnya Kaisar mengetahui semua perbuatannya, tak ada putusan lain bagi Pastor Valentinus selain ajal. Kenekadan dan pengorbanan seorang pastor atas nama cinta inilah yang membuat Hari Valentine dirasa patut untuk dirayakan.

Cerita lain tentang kebaikan hati sang pastor, justru mengisahkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Pastor Valentinus dikenal sebagai orang yang berani dan mempunyai banyak akal untuk menyelundupkan orang-orang Kristen keluar dari penjara Roma, tempat mereka mengalami siksaan-siksaan yang luar biasa keji. Dalam upayanya untuk menyelamatkan banyak orang inilah, Pastor Valentinus pada satu hari tertangkap basah dan terbunuh karenanya.
Ada pula kisah tentang seorang narapidana yang juga bernama Valentinus (entah pastor atau bukan), yang jatuh cinta kepada anak gadis sipir penjara. Si gadis, entah atas nama cinta atau hanya sekadar iba, selalu mengunjungi si narapidana di dalam selnya. Menjelang kematiannya, si narapidana menuliskan sepucuk surat yang sangat indah untuk si gadis, dan menandatangani surat itu dengan kata-kata, “From your Valentine”. Tanda tangan inilah yang kemudian menjadi sangat populer, dan hampir selalu ditiru oleh para pecinta di dunia untuk menandai kartu-kartu yang dikirimkan kepada para kekasih mereka. Kata ‘Valentine’, dalam penerapannya, bahkan kemudian menjadi sinonim dari kata ‘kekasih’ itu sendiri.

Cerita tentang Pastor Valentinus (atau Santo Valentinus) versi Gereja Katolik sendiri ternyata sedikit membingungkan, karena ada yang menyatakan bahwa Valentinus adalah nama yang dipakai oleh tiga orang, yang kesemuanya adalah martir dan hidup antara abad ke-3 dan ke-4. Pesta nama ketiganya pun sama, yakni pada 14 Februari. Sebetulnya ada keraguan bahwa terdapat tiga orang bernama Valentinus, sebab ada pihak yang menengarai bahwa setidaknya dua di antara Valentinus itu adalah orang yang sama. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa ketiganya adalah orang yang sama. Para Valentinus yang dipersoalkan ini adalah seorang pastor di Roma atau seorang uskup di Terni (dekat Roma), seorang tabib, seseorang yang dipenjara atau yang suka membebaskan tawanan dari dalam penjara, yang mati karena disiksa atau dibunuh begitu saja, di luar atau dari balik jeruji penjara.

Hari Valentine, Sebuah Konstruksi Sosial-Budaya
Berangkat dari sebuah kebingungan sejarah, jika ditelisik lebih jauh, Valentine ternyata memiliki akar budaya yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar kisah kebesaran nama tokoh-tokoh tertentu. Hari Valentine ternyata juga merupakan penceritaan sosial-budaya tanpa perlu diembel-embeli dengan semacam idolafori.

Hari Valentine yang dirayakan setiap pertengahan Februari, merupakan penanda datangnya musim semi yang cerah dan hangat setelah musim dingin yang kelabu dan membekukan. Musim semi, adalah saat burung-burung kembali berkicau dan bercengkerama (barangkali setelah pulang dari perjalanan panjang ke negeri yang lebih hangat), serta saat tumbuh-tumbuhan mulai menghijau seusai masa tidur yang lama. Alam menggeliat dan kembali ‘hidup’. Manusia, melihat semua fenomena alam ini, menjadi tersadar bahwa ada kearifan yang tersembunyi di balik sebuah siklus kehidupan, yang menunggu untuk ditemukan serta diberi makna.

Saat Paganisme menjadi keyakinan masyarakat, ketika orang-orang menyembah berhala, ada festival yang disebut Lupercalia atau penghormatan atas kesuburan dan pemurnian. Dalam festival tersebut, yang dimulai sekitar tanggal 15 Februari (menurut pengertian manusia modern tentang kalender tentu saja), masyarakat melakukan pembersihan rumah secara menyeluruh. Festival ini sendiri didedikasikan kepada dewa pertanian Roma, Faunus, juga kepada para pendiri Roma, Romulus dan Remus.

Sebagai tanda dimulainya festival, atas perintah para pendeta Roma, diadakan ritual persembahan di gua suci. Gua itu adalah lokasi yang dipercaya menjadi tempat berlindung bagi Romulus dan Remus yang masih bayi, di bawah asuhan seekor serigala betina yang disebut lupa. Di gua itu, para pendeta mengorbankan seekor kambing sebagai tanda kesuburan, dan seekor anjing sebagai lambang kemurnian. Setelah kedua hewan korban itu mati, anak laki-laki akan menyayat kulitnya menjadi lajur-lajur panjang, merendamnya di dalam darah yang telah disucikan, lalu membawanya ke jalan-jalan. Mereka menciprati seluruh penjuru kota dengan darah, juga orang-orang yang mereka temui di jalanan itu. Alih-alih merasa takut atau jijik, kaum perempuan justru ingin disentuh oleh potongan kulit berlumur darah itu, karena mereka percaya bahwa benda tersebut akan mendatangkan kesuburan bagi mereka pada tahun yang baru.

Selang beberapa waktu kemudian, ada kebiasaan baru yang berkembang sehubungan dengan festival itu. Kaum perempuan memasukkan kertas bertuliskan nama-nama mereka ke dalam sebuah jambangan besar. Para jejaka lantas akan mengambil sehelai kertas dan perempuan yang namanya tertera di sana akan menjadi kekasihnya. Tak jarang, praktik kontak jodoh ini diakhiri dengan pernikahan.

Ketika Gereja Katolik mulai menyebarkan ajaran agama, termasuk memerangi ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan iman Katolik, ada tuduhan bahwa Peringatan Kemartiran Santo Valentinus, termasuk juga Hari Valentine, adalah akal-akalan Gereja untuk mengkristenkan perayaan Paganisme. Adalah Paus Gelasius yang menetapkan tanggal 14 Februari sebagai Hari Santo Valentinus pada sekitar tahun 498. Tradisi kontak jodoh melalui sistem lotere pun dinyatakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kristiani serta dianggap melanggar hukum.

Menyikapi perubahan pandangan ini, orang lantas berkilah bahwa semua romansa pada pertengahan Februari mengambil inspirasi dari siklus kehidupan cinta burung-burung. Di masyarakat pun terus berkembang kepercayaan yang begitu pribadi dan rahasia, sehingga tak tersentuh oleh kontrol Gereja. Ada keyakinan misalnya, bahwa meletakkan selembar daun salam di bawah bantal pada malam Hari Valentine, akan menuntun orang untuk melihat jodohnya melalui mimpi.

Sementara itu, tradisi mengungkapkan perasaan cinta terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Kebiasaan untuk merayakan Hari Valentine dan mengirimkan kartu-kartu ucapan mulai mewabah pada pertengahan abad 18 di Inggris; sebuah aktivitas yang ternyata mampu melintasi batas-batas kelas sosial di masyarakat. Sepucuk surat atau kartu bertanda tangan ‘From your Valentine’ yang tadinya begitu personal, kini diproduksi secara massal; ditandai dengan dijualnya kartu Valentine komersial pertama oleh Esther A. Howland pada 1840. Orang tak lagi perlu berpikir keras untuk mengekspresikan cintanya, melainkan tinggal memilih satu dari sekian ribu kartu yang dijajakan di toko-toko. Atau, jika mau memanfaatkan teknologi informasi, tinggal kunjungi saja situs-situs yang menyediakan berbagai electronic card gratisan sampai yang harus dibayar mahal melalui electronic banking. Ditengarai oleh Greeting Card Association, pengiriman kartu-kartu ucapan Valentine menjadi aktivitas tersibuk kedua di dunia setelah pengiriman kartu-kartu Natal (yang diperkirakan mencapai 2,6 miliar lembar per tahunnya). Tentu saja, ini belum termasuk bisnis coklat, boneka, cenderamata, layanan foto bersama, makan malam pribadi dan entah apa lagi yang dijajakan dengan mengatasnamakan cinta.

Sebuah fenomena menarik, memang. Meski tersaput kabut misteri, tak dapat disangkal bahwa Hari Valentine yang dikaitkan dengan legenda tentang kisah-kisah cinta zaman dahulu memberikan daya tarik tersendiri tentang simpati, kepahlawanan dan figur seorang pecinta sejati. Jika oleh sebab inilah orang tergerak untuk merayakan Valentine, kita layak untuk bertanya: apakah zaman ini makin kehilangan ruang bagi rasa simpati, kepahlawanan dan figur-figur pecinta sejati, sehingga orang begitu merindukannya? Akan tetapi, jika termasuk mereka yang mengantre di pusat-pusat perbelanjaan untuk membeli kartu, permen, coklat atau boneka berlambang cinta, sebaiknya Anda hati-hati. Bisa jadi, Anda hanya sekadar menjadi korban komodifikasi cinta.*